Postingan 7 akan membahas sosok Husein Sastranegara, Perintis AURI ( Angkatan Udara Republik Indonesia ) yang namanya diabadikan menjadi nama Bandara di Bandung, Jawa Barat. profilnya gue ambil dari Tirto.
Corry, begitu ia biasa dipanggil, tak menyangka suaminya akan pergi
dengan cepat. Ia terduduk sambil memegang jas, peci, dan foto, dekat
suaminya yang telah terbujur kaku. Kepala Corry terus menggeleng seraya
berkomat-kamit.
Husein Sastranegara, suaminya, meninggalkan ia
dan tiga orang anak yang masih kecil. Anak bungsunya bahkan baru berusia
lima bulan.
“Corry sebagai janda berubah dalam satu malam
dari seorang wanita cantik menjadi kelam kelabu wajahnya,” tulis Zuraida
Sanawi dalam Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi (2011).
Corry
yang nama aslinya Koryati Mangkuatmaja, sebagaimana dikisahkan Zuraida
Sanawi, begitu tegar. Ya, ia pasti bersedih. Bagaimana tidak, jasad
suaminya terkasih terbujur cacad dan hangus. Lain itu, tak ada seorang
pun saudara Husein yang hadir saat itu. Willy Sastranegara, saudaranya,
tengah berada di Jakarta.
“Tapi Corry sangat tegar buat seterusnya. Dia bahkan ikut bersama kami membantu menguburkan Hoesein,” ungkap Zuraida.
Bersama juru teknik Rukidi, Husein gugur setelah pesawat Cukiu yang
dibawanya jatuh dan terbakar di Kampung Gowongan Lor, Yogyakarta.
Peristiwa nahas itu terjadi pada 26 September 1946, tepat hari ini 74
tahun silam.
Kecelakaan itu terjadi saat mereka melakukan
latihan. Pesawat yang mereka terbangkan rencananya akan dijadikan
cadangan untuk mengantar Perdana Menteri Sutan Sjahrir ke Malang.
Anak Demang Jadi Polisi
Husein jelas keturunan menak yang tak sulit mendapatkan pendidikan formal. Ia mula-mula sekolah dasar di Europese Legere School (ELS) di Bandung. Tingkat selanjutnya ia belajar di Hogere Burger School (HBS), masih di kota yang sama. Namun, Husein kemudian pindah ke HBS di Jakarta. Setelah lulus pada 1939, ia melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng, yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Belum lama kuliah di Bandung, Perang Dunia II keburu meletus. Untuk menambah jumlah penerbang militer, Belanda segera memberikan kesempatan kepada para pemuda bumiputra untuk berkarier di bidang itu. Husein tertarik. Ia meninggalkan bangku kuliah di Bandung dan segera mendaftarkan diri di Militaire Luchtvaart School di Kalijati, Subang.
Dari 10 pemuda bumiputra yang diterima, Husein salah satunya. Ia juga termasuk dari 5 siswa yang mendapat brevet penerbang. Selain Husein, empat lainnya adalah Sambodja Hurip, Sulistiyo, Sujono, dan Ignatius Adisutjipto.
Namun, saat akan meneruskan pendidikan penerbang lanjutan, Husein bersama Sulistiyo dan Sujono gagal. Ketiganya hanya mendapat KMB (Kleine Militaire Brevet) atau lisensi menerbangkan pesawat bermesin tunggal. Mereka gagal mendapatkan GMB (Groote Militaire Brevet) yang hanya diperoleh Sambodja Hurip dan Ignatius Adisutjipto.
Karena hal itulah, maka pada 1941 Husein meninggalkan dunia penerbangan dan masuk ke Sekolah Inspektur Polisi di Sukabumi. Setelah Jepang menduduki Indonesia, meski belum lulus, Husein diangkat menjadi Inspektur Polisi di Sukabumi. Ia sempat dipindahkan ke Sukanagara, Cianjur.
Pada masa revolusi, meski pernah bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Bogor dan Bandung, tetapi Husein akhirnya harus kembali ke dunia penerbangan. Ia dipanggil oleh KSAU Suryadi Suryadarma untuk terlibat dalam mempertahankan Lapangan Terbang Andir di Bandung. Kelak, namanya akan diabadikan di sana.
Rentetan Kecelakaan
Dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2008) disebutkan, penerbangan militer Republik pun kemudian dipusatkan di Yogyakarta dengan memakai sejumlah pesawat tinggalan Jepang.
Di masa darurat, keberanian boleh menjadi panglima, tapi pesawat bekas hanya akan mencelakakan para penerbangnya. Dan Husein tentu saja terlibat dalam sejumlah penerbangan berbahaya karena pesawat-pesawat butut itu.
Pada 23 Juli 1946, Husein yang berpangkat Opsir Udara II bersama Kadet Udara Wim Prayitno, masing-masing mengemudikan pesawat Cureng dengan rute Maguwo-Gorda (Banten)-Karangendah (Sumatra Selatan)-Maguwo. Kali ini Husein selamat.
“Peristiwa penerbangan cross country yang pertama kali diadakan itu disusul dengan terbang formasi dalam jumlah yang lebih besar,” tulis Irna H.N. Hadi Soewito dan kawan-kawan.
Salah satu kecelakan pesawat Militer Indonesia terjadi pada perayaan ulang tahun RI. Seperti dikisahkan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2008), perayaan ulang tahun itu diramaikan oleh demo terbang tiga pesawat Cukiu yang salah satunya diterbangkan oleh Suyono.
Setelah terbang berputar-putar menghibur warga, dalam perjalanan pulang ke pangkalan, Suyono justru mengarah ke Alun-alun Lor dan petaka pun datang. Di atas Malioboro-Gondolayu, tiba-tiba mesin pesawatnya mati. Meski masih bisa menaikkan pesawat hingga 300-400 meter dan melayang-layang di atas Kotabaru, namun pesawat itu akhirnya mendarat darurat di sebuah tegalan. Suyono selamat.
Tiga hari setelah peristiwa itu, pesawat yang diterbangkan oleh Suyono dan Kolonel Umar Said, lagi-lagi mengalami insiden. Sementara pada 27 Agustus 1946, pesawat yang diterbangkan Ignatius Adisutjipto mengalami kecelakaan di Cipatujah, Tasikmalaya, saat melakukan pendaratan darurat.
Pesawat itu dalam perjalanan pulang dari Branti, Lampung, menuju Maguwo, Yogyakarta. Di selatan Jawa Barat, karena cuaca buruk, Adisutjipto berusaha melakukan pendaratan darurat. Namun, pesawat melanggar pohon kelapa hingga jatuh terjungkir. Adisutjipto selamat, tapi Opsir Udara II Tarsono Rujito terluka parah dan akhirnya meninggal dunia.
Sebulan kemudian, giliran pesawat yang diterbangkan Husein Sastranegara mengalami kecelakaan dan merenggut nyawanya.
Sumber : https://tirto.id/husein-sastranegara-singkat-hayat-sang-perintis-auri-dari-cianjur-f5cr
Bonus :
foto Bandara Husein Sastranegara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar