Minggu, 27 September 2020

Batu Rosetta dan Bagaimana Champollion Menguak Misteri Mesir Kuno

Champollion dan peninggalan Mesir kuno. tirto.id/Sabit

Halo semua hari ini aku akan membahas sejarah dibalik ditemukannya Batu Rosetta yang sekarang disimpan di The British Museum, London.

 Suatu hari di bulan Juli 1799, sekelompok serdadu zeni tempur Angkatan Darat Revolusioner Perancis bekerja keras di bawah guyuran terik matahari. Mereka tengah merenovasi sebuah benteng rongsok di Rashid, kota pelabuhan di Mesir, di tepian barat delta sungai Nil. Benteng peninggalan pasukan Saracen ini kelak diberi nama Benteng Julien oleh orang Perancis dan akan digunakan untuk menahan serbuan pasukan gabungan Britania-Ottoman yang akan mendarat di delta sungai itu.

Parit-parit pun digali dan fondasi benteng diperkokoh hingga kapak beliung salah satu serdadu menghantam lempengan batu hitam di dasarnya. Pierre-François Bouchard, perwira yang bertugas saat itu, memerintahkan serdadunya untuk memisahkan batu hitam itu dari fondasi batu-batu berpasir lain untuk diperiksa lebih jauh.

Ketika batu itu berhasil dikeluarkan dari fondasi benteng, Bouchard segera mengirim kabar kepada komandannya, Kolonel d'Hautpoul. Batu hitam seberat 762 kilogram itu rupanya bukan batu sembarang batu. Batu itu merekam sebuah peradaban kuno. Lidah orang Perancis menyebut batu itu dengan nama 'Rosette', sesuai dengan lokasi penemuannya di kota Rashid.


Adu Ilmu Para Sarjana: Young vs. Champollion

Pada 1801 Fort Julien tak sanggup menahan gempuran pasukan gabungan dan Perancis mesti takluk. Bukan hanya takluk, tapi seluruh harta karun berupa artefak kuno, termasuk batu Rosetta yang berhasil ditemukan Bouchard, juga mesti berpindah tangan. Batu itu dibawa menuju Portsmouth dengan sebuah kapal untuk disimpan di British Museum dan hingga kini ia berada di sana.

Sejak pertama ditemukan, batu Rosetta telah menjadi magnet para sarjana sejarah dan para ahli kebudayaan Mesir untuk diteliti sekaligus diurai teksnya guna membuka tabir misteri peradaban Mesir kuno.

Batu Rosetta ditulis dalam dua bahasa—Mesir dan Yunani—dan menggunakan tiga skrip, yakni hieroglif, Demotik, serta Yunani. Skrip hieroglif biasa digunakan untuk menulis dokumen-dokumen penting atau naskah keagamaan. Sementara skrip demotik adalah skrip yang biasa digunakan orang-orang awam dan rakyat jelata. Sedangkan skrip Yunani biasa dipakai para elite pada rezim yang berkuasa.

Tiga skrip ini dipakai agar Batu Rosetta bisa dibaca semua kalangan. Batu Rosetta dibikin oleh sekelompok pendeta di Mesir untuk menghormati Firaun dan mengisahkan semua kebaikan yang telah dilakukan Firaun untuk para pendeta dan orang-orang Mesir. Keseluruhan teksnya bisa dibaca di sini.

Usaha-usaha untuk membuka tabir pengetahuan yang termuat di batu inipun melahirkan sebuah persaingan seru yang tercatat sejarah, yakni antara Thomas Young dan Jean-François Champollion.

Thomas Young adalah seorang polymath asal Inggris. Ia adalah orang yang pertama kali menjajal usaha untuk menguraikan teks hieroglif Mesir yang tertulis di Batu Rosetta. Ia telah mengerjakan usaha itu selama beberapa bulan dan kurang sukses. Young, yang waktu itu bekerja sebagai sekretaris di Royal Society, menyadari ia mendapat pesaing tangguh dari Perancis bernama Jean-François Champollion.
 
Champollion adalah ahli kebudayaan Mesir kuno yang punya minat dan kemampuan istimewa dalam studi hieroglif Mesir. Pada 1814 ia menulis surat ke Royal Society berisi permintaan salinan transkripsi yang lebih baik dari Batu Rosetta agar dapat menguraikan skrip yang tertulis di batu itu. Menurut Young, ada hawa songong yang ikut terbawa dalam surat itu dan ini membikin ia jadi kesal.

Dan persaingan pun dimulai.

Young mengerjakan salinan prasasti Batu Rosetta selama lima tahun, dari 1814 hingga 1819, sebelum akhirnya menyerah, atau lebih tepatnya mengalihkan minat pada kajian lain. Dalam rentang waktu pengerjaan itu, yang ia sebut sebagai kegiatan pengisi waktu luang, Young telah menyumbangkan temuan penting soal cartouche.

Cartouche adalah simbol berbentuk oval dengan beberapa tanda di dalamnya yang kerap muncul di skrip hieroglif. Young menyimpulkan bahwa cartouche digunakan untuk menunjukkan gelar kerajaan. Kemudian ia mencocokkan salah satu cartouche dengan nama 'Ptolemeus' dalam teks Yunani dan mengidentifikasi sifat fonetik dari beberapa tanda hieroglif itu.
 
Temuan Young tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Champollion. Pesaing Young itu, yang juga fasih berbahasa Koptik, berhasil mengidentifikasi beberapa tanda hieroglif fonetik yang digunakan dalam nama kerajaan seperti 'Cleopatra' dan 'Ptolemeus'. Dia kemudian menerapkan tanda-tanda pada nama-nama di cartouche yang ditemukan di Batu Rosetta dan di batu lain, lalu menggunakan penemuan dari setiap terjemahan baru itu untuk mengisi celah pada terjemahan lainnya.

Teknik referensi silang ini memungkinkan Champollion mengembangkan alfabet hieroglif dan momen eureka itu datang pada September 1822.

Champollion menyadari bahwa ejaan hieroglif 'Ramses'—sebuah nama tradisional Mesir—dibuat dari simbol-simbol yang semuanya berhubungan dengan suara yang diucapkan. Dengan menerapkan simbol fonetik serupa ke kata-kata lain di Batu Rosetta yang tidak dimasukkan dalam cartouche, Champollion membuat kesimpulan: alih-alih naskah simbolis murni, naskah hieroglif juga berisi simbol konseptual dan tanda fonetik. Bergantung pada konteksnya, simbol dalam skrip dapat mewakili keseluruhan kata dan frasa yang sesuai dengan bunyi bahasa lisan.

Konon, Champollion langsung semaput begitu ia menyimpulkan itu.
 
Seminggu setelah Champollion bertemu momen eurekanya, ia menerbitkan hasil temuannya dalam sebuah surat berjudul "Lettre à M. Dacier", yang ditujukan kepada Bon-Joseph Dacier, sekretaris Paris Académie des Inscriptions et Belles-Lettres. Surat itu ia bacakan langsung di Paris Académie des Inscriptions et Belles-Lettres di depan para sivitas akademik, termasuk rivalnya, Thomas Young, pada 27 September 1822, tepat hari ini 198 tahun lalu.

Hingga akhir hayatnya pada 1832, Jean-François Champollion tidak pernah melihat langsung wujud batu Rosetta. Sebuah ironi yang mengharukan. 
 
Infografik Mozaik Batu Rosetta
 
Sumber : https://tirto.id/batu-rosetta-dan-bagaimana-champollion-menguak-misteri-mesir-kuno-f5eU
 
Bonus : 
contoh paragraf dalam Batu Rosetta 

1. On the twenty-fourth day of the month GORPIAIOS 2, which correspondeth to the twenty-fourth day of the fourth month of the season PERT 3 of the inhabitants of TA-MERT (EGYPT), in the twenty-third year of the reign of HORUS-RA the CHILD, who hath risen as King upon the throne of his father, the lord of the shrines of NEKHEBET 4 and UATCHET, 5 the mighty one of two-fold strength, the stablisher of the Two Lands, the beautifier of

2. Egypt, whose heart is perfect (or benevolent) towards the gods, the HORUS of Gold, who maketh perfect the life of the hamentet beings, the lord of the thirty-year festivals like PTAḤ, the sovereign prince like RĀ, the King of the South and North, Neterui-merui-ȧtui-ȧuā-setep-en-Ptaḥ-usr-ka-Rā-ānkh-sekhem-Ȧmen 6, the Son of the Sun Ptolemy, the ever-living,

the beloved of Ptaḥ, the god who maketh himself manifest.

3. the son of PTOLEMY and ARSINOË, the Father-loving gods; when PTOLEMY, the son of PYRRHIDES, was priest of ALEXANDER, and of the Saviour-Gods, and of the Brother-loving Gods, and of the Beneficent Gods,

4. and of the Father-loving Gods, and of the God who maketh himself manifest; when DEMETRIA, the daughter of Telemachus, was bearer of the

5. prize of victory of BERENICE, the Beneficent Goddess; and when ARSINOË, the daughter of CADMUS, was the Basket Bearer of ARSINOË, the Brother-loving Goddess;

6. when IRENE, the daughter of PTOLEMY, was the Priestess of ARSINOË, the Father-loving Goddess; on this day the superintendents of the temples, and the servants of the god, and those who are over the secret things of the god, and the libationers [who] go into the most holy place to array the gods in then apparel,

7. and the scribes of the holy writings, and the sages of the Double House of Life, and the other libationers [who] had come from the sanctuaries of the South and the North to MEMPHIS, on the day of the festival, whereon

S. His Majesty, the King of the South and North PTOLEMY, the ever-living, the beloved of Ptaḥ, the god who maketh himself manifest, the lord of beauties, received the sovereignty from his father,

Sabtu, 26 September 2020

Husein Sastranegara, Singkat Hayat Sang Perintis AURI dari Cianjur

Husein Sastranegara. tirto.id/Nauval 

Postingan 7 akan membahas sosok Husein Sastranegara, Perintis AURI ( Angkatan Udara Republik Indonesia ) yang namanya diabadikan menjadi nama Bandara di Bandung, Jawa Barat. profilnya gue ambil dari Tirto. 

Corry, begitu ia biasa dipanggil, tak menyangka suaminya akan pergi dengan cepat. Ia terduduk sambil memegang jas, peci, dan foto, dekat suaminya yang telah terbujur kaku. Kepala Corry terus menggeleng seraya berkomat-kamit.

Husein Sastranegara, suaminya, meninggalkan ia dan tiga orang anak yang masih kecil. Anak bungsunya bahkan baru berusia lima bulan.

“Corry sebagai janda berubah dalam satu malam dari seorang wanita cantik menjadi kelam kelabu wajahnya,” tulis Zuraida Sanawi dalam Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi (2011).

Corry yang nama aslinya Koryati Mangkuatmaja, sebagaimana dikisahkan Zuraida Sanawi, begitu tegar. Ya, ia pasti bersedih. Bagaimana tidak, jasad suaminya terkasih terbujur cacad dan hangus. Lain itu, tak ada seorang pun saudara Husein yang hadir saat itu. Willy Sastranegara, saudaranya, tengah berada di Jakarta.

“Tapi Corry sangat tegar buat seterusnya. Dia bahkan ikut bersama kami membantu menguburkan Hoesein,” ungkap Zuraida.

Bersama juru teknik Rukidi, Husein gugur setelah pesawat Cukiu yang dibawanya jatuh dan terbakar di Kampung Gowongan Lor, Yogyakarta. Peristiwa nahas itu terjadi pada 26 September 1946, tepat hari ini 74 tahun silam.

Kecelakaan itu terjadi saat mereka melakukan latihan. Pesawat yang mereka terbangkan rencananya akan dijadikan cadangan untuk mengantar Perdana Menteri Sutan Sjahrir ke Malang.

Anak Demang Jadi Polisi

Husein Sastranegara lahir di Cilaku, Cianjur, pada 20 Januari 1919. Ia anak ke delapan dari empat belas bersaudara. Ayahnya bernama Raden Demang Ishak Sastranegara, seorang pangreh praja yang pernah menjadi Wedana Ujungberung, Pejabat Bupati Tasikmalaya, dan Patih Tasikmalaya. Sementara ibunya bernama Raden Katjih Lasminingroem, putri Raden Wiranata, Onder Collecteur Pensiun Cicalengka.

Husein jelas keturunan menak yang tak sulit mendapatkan pendidikan formal. Ia mula-mula sekolah dasar di Europese Legere School (ELS) di Bandung. Tingkat selanjutnya ia belajar di Hogere Burger School (HBS), masih di kota yang sama. Namun, Husein kemudian pindah ke HBS di Jakarta. Setelah lulus pada 1939, ia melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng, yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Belum lama kuliah di Bandung, Perang Dunia II keburu meletus. Untuk menambah jumlah penerbang militer, Belanda segera memberikan kesempatan kepada para pemuda bumiputra untuk berkarier di bidang itu. Husein tertarik. Ia meninggalkan bangku kuliah di Bandung dan segera mendaftarkan diri di Militaire Luchtvaart School di Kalijati, Subang.

Dari 10 pemuda bumiputra yang diterima, Husein salah satunya. Ia juga termasuk dari 5 siswa yang mendapat brevet penerbang. Selain Husein, empat lainnya adalah Sambodja Hurip, Sulistiyo, Sujono, dan Ignatius Adisutjipto.

Namun, saat akan meneruskan pendidikan penerbang lanjutan, Husein bersama Sulistiyo dan Sujono gagal. Ketiganya hanya mendapat KMB (Kleine Militaire Brevet) atau lisensi menerbangkan pesawat bermesin tunggal. Mereka gagal mendapatkan GMB (Groote Militaire Brevet) yang hanya diperoleh Sambodja Hurip dan Ignatius Adisutjipto.

Karena hal itulah, maka pada 1941 Husein meninggalkan dunia penerbangan dan masuk ke Sekolah Inspektur Polisi di Sukabumi. Setelah Jepang menduduki Indonesia, meski belum lulus, Husein diangkat menjadi Inspektur Polisi di Sukabumi. Ia sempat dipindahkan ke Sukanagara, Cianjur.

Pada masa revolusi, meski pernah bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Bogor dan Bandung, tetapi Husein akhirnya harus kembali ke dunia penerbangan. Ia dipanggil oleh KSAU Suryadi Suryadarma untuk terlibat dalam mempertahankan Lapangan Terbang Andir di Bandung. Kelak, namanya akan diabadikan di sana.

Rentetan Kecelakaan

Takdir revolusi membawa Indonesia untuk pindah ibukota ke Yogyakarta, dan ribuan prajurit serta rakyat sipil harus hijrah ke wilayah-wilayah Republik. Husein dan para penerbang Indonesia lainnya tak terkecuali.

Dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2008) disebutkan, penerbangan militer Republik pun kemudian dipusatkan di Yogyakarta dengan memakai sejumlah pesawat tinggalan Jepang.

Di masa darurat, keberanian boleh menjadi panglima, tapi pesawat bekas hanya akan mencelakakan para penerbangnya. Dan Husein tentu saja terlibat dalam sejumlah penerbangan berbahaya karena pesawat-pesawat butut itu.

Pada 23 Juli 1946, Husein yang berpangkat Opsir Udara II bersama Kadet Udara Wim Prayitno, masing-masing mengemudikan pesawat Cureng dengan rute Maguwo-Gorda (Banten)-Karangendah (Sumatra Selatan)-Maguwo. Kali ini Husein selamat.

“Peristiwa penerbangan cross country yang pertama kali diadakan itu disusul dengan terbang formasi dalam jumlah yang lebih besar,” tulis Irna H.N. Hadi Soewito dan kawan-kawan.

Salah satu kecelakan pesawat Militer Indonesia terjadi pada perayaan ulang tahun RI. Seperti dikisahkan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2008), perayaan ulang tahun itu diramaikan oleh demo terbang tiga pesawat Cukiu yang salah satunya diterbangkan oleh Suyono.

Setelah terbang berputar-putar menghibur warga, dalam perjalanan pulang ke pangkalan, Suyono justru mengarah ke Alun-alun Lor dan petaka pun datang. Di atas Malioboro-Gondolayu, tiba-tiba mesin pesawatnya mati. Meski masih bisa menaikkan pesawat hingga 300-400 meter dan melayang-layang di atas Kotabaru, namun pesawat itu akhirnya mendarat darurat di sebuah tegalan. Suyono selamat.

Tiga hari setelah peristiwa itu, pesawat yang diterbangkan oleh Suyono dan Kolonel Umar Said, lagi-lagi mengalami insiden. Sementara pada 27 Agustus 1946, pesawat yang diterbangkan Ignatius Adisutjipto mengalami kecelakaan di Cipatujah, Tasikmalaya, saat melakukan pendaratan darurat.

Pesawat itu dalam perjalanan pulang dari Branti, Lampung, menuju Maguwo, Yogyakarta. Di selatan Jawa Barat, karena cuaca buruk, Adisutjipto berusaha melakukan pendaratan darurat. Namun, pesawat melanggar pohon kelapa hingga jatuh terjungkir. Adisutjipto selamat, tapi Opsir Udara II Tarsono Rujito terluka parah dan akhirnya meninggal dunia.

Sebulan kemudian, giliran pesawat yang diterbangkan Husein Sastranegara mengalami kecelakaan dan merenggut nyawanya.

Infografik Mozaik Husein Sastranegara              

Sumber : https://tirto.id/husein-sastranegara-singkat-hayat-sang-perintis-auri-dari-cianjur-f5cr

Bonus : 

foto Bandara Husein Sastranegara 

 Bandung Raya - Bandung, Minggu Ini, Bandara Husein Sastranegara Kembali Layani Penerbangan Jet, Bandara Husein Sastranegara Bandung,Bandara di Bandung,Berita Bandung,Penerbangan Bandara Husein,Kota Bandung

Sejarah Hidup Dewi Dja dari Panggung Sandiwara hingga Hollywood

Dewi Dja. FOTO/Dr Samsi. 1960. Malang: Madju/commons.wikimedia.org/

Postingan 6 kali ini akan membahas sosok Dewi Dja, bintang dari Kelompok Dardanella yang sangat terkenal sampai akhirnya tinggal di Amerika Serikat. kali ini gue ambil dari Tirto.

Situasi politik mulai memanas kala kelompok sandiwara Dardanella menggelar tur keliling Eropa pada 1939. Sebelum situasi tambah runyam, rombongan Dardanella buru-buru pindah ke Amerika. Mereka sempat menggelar pertunjukan di New York dengan nama Devi Dja’s Bali dan Java Cultural Dancers sebelum akhirnya bubar.

Sejak itu pula Dewi Dja, bintang utama kelompok Dardanella, terdampar di Amerika. Perang Dunia II menutup jalan pulangnya ke Indonesia.

“Saya ingin pulang ke Indonesia,”demikian cita-cita sederhana Dewi Dja.

Meski begitu, saat perang usai dan Indonesia merdeka, Dewi Dja urung pulang dan kemudian berpindah kewarganegaraan pada 1954. Dja lalu jadi seorang guru tari dan koreografer di Negeri Paman Sam.

Bung Karno pernah menganjurkan agar Dja meninggalkan kewarganegaraan Amerika dan pulang ke Indonesia pada 1959. Lagi-lagi, Dja menolaknya dengan alasan tugasnya sebagai duta kebudayaan Indonesia belum selesai.

Bersama rombongan sandiwara keliling Dardanella, perempuan berperawakan mungil ini pernah menjadi sri panggung yang bersinar sepanjang dekade 1930-an. Riwayatnya di atas panggung menjelajah ke penjuru Indonesia dan tiga benua. Tidak heran jika tokoh-tokoh bangsa seperti Sukarno, Agus Salim, hingga Sutan Sjahrir pernah mengidolakannya dan masih mengingat namanya.

“Aku pun senang sekali sewaktu mereka mengatakan bahwa mereka mengenal namaku, Miss Dja, Dewi Dja. Itu satu-satunya hartaku yang ada: nama,” aku Dewi Dja saat mengenang pertemuan pertamanya dengan Sjahrir tahun 1947.

Kala itu, Dja diminta mendampingi delegasi Indonesia yang hendak memperjuangkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dalam Forum Dewan Keamanan PBB di Hotel Commodore, New York (Kompas, 1/1/2000). Akan tetapi, Sjahrir yang ternyata juga pencinta seni malah mengangkat Dja sebagai duta kebudayaan Indonesia. Jadilah Dja dan kawannya yang bernama Wani duduk sejajar bersama delegasi lain.

Dari Jalanan ke Panggung Tonil

Dewi Dja lahir pada 1 Agustus 1914. Soal tempat kelahirannya ada beragam versi. Penulis biografi Ramadhan KH menyebut Dja lahir di Sentul, Yogyakarta. Sementara dalam wawancara dengan majalah Femina yang terbit pada 1982, Dja menyebut Jember sebagai tempatnya lahir. Menurut Ramadhan KH, kerancuan ini disebabkan karena Dja kurang pandai menceritakan kisah hidupnya sendiri.

Selama hidupnya, Dja dikenal dengan banyak nama. Nama aslinya adalah Misria, tetapi karena sejak kecil sakit-sakitan lantas diganti menjadi Soetidjah. Sementara kawan-kawannya sesama pemain sandiwara memanggilnya dengan nama Erni. Di antara sekian nama itu, orang-orang terdekat tetap memanggilnya Idjah atau Djah.

Dja tidak punya latar belakang pendidikan formal. Keluarganya terlalu miskin untuk memasukannya ke sekolah rendah. Saat pertama kali ikut pertunjukan stambul, Dja bahkan masih buta huruf dan mengaku baru belajar membaca ketika usianya sudah dewasa. Namun, kekurangan itu ditutupinya dengan pengalaman hidupnya yang kaya.

Ramadhan dalam roman biografi Gelombang Hidupku, Dewi Dja Dari Dardanella (1982) mengungkapkan kebiasaan Dja menguntit sang kakek Sutiran dan neneknya berkeliling memetik siter. Sambil memegang ujung kebaya sang nenek, Dja kecil membayangkan kelak hidupnya juga berputar di sekitar musik dan tarian.

Hari-hari ikut mengamen berakhir kala Sutiran dapat bantuan modal mendirikan perkumpulan stambul. Seturut Fandy Hutari, perkumpulan stambul itu lalu diberi nama Stambul Pak Adi. Dja juga diajak serta.

“Di sana, Dja mulai mengasah kemampuannya, terutama dalam hal menari dan menyanyi. Mereka berkeliling ke sejumlah daerah di Jawa,” tulis Fandy dalam bunga rampai Para Penghibur: Riwayat 17 Artis Masa Hindia Belanda (2017: 86).

Kesempatan pertama Dja untuk “naik kelas” terjadi pada 1927, kala pendiri kelompok sandiwara Dardanella Willy Klimanof alias Piedro menonton pertunjukan Stambul Pak Adi di Banyuwangi.

Performa dan kecantikan Dja yang tampil menyanyikan lagu berjudul Kopi Susu membuat Piedro terkesan. Tak berapa lama, Piedro mengirim utusan untuk melamar Dja yang saat itu belum genap berusia 14 tahun. Lewat perantara camat Rogojampi, menikahlah Piedro dan Dja. Sejak itu pula Dja bergabung dengan Dardanella.

 Wartawan sekaligus penulis sandiwara Andjar Asmara menuturkan bahwa Dja hanya diberi peran-peran kecil selama tahun pertamanya menjadi anggota Dardanella. Dalam tulisan yang terbit di majalah Pedoman (1/10/1958), Andjar mengkisahkan bahwa Piedro takut istrinya itu bermain buruk lantaran tidak bisa membaca naskah. Maka itu, Dja lebih sering menari untuk mengisi jeda pergantian babak di bawah bimbingan Frederik de Kock.

Piedro nampaknya terlalu meremehkan istrinya atau barangkali belum tahu letak bakatnya. Pertunjukan kabaret yang dimainkan Dja bersama Astaman berdasarkan film bisu berjudul Watt en ½ Watt ternyata menuai pujian dari kritikus film dan teater. Surat kabar Bintang Hindia edisi 18 Mei 1929 menyanjung permainan Dja dan menjulukinya sebagai pendatang baru berbakat.

Dja baru mendapatkan peran penting kala Dardanella menggelar pertunjukan di Gedung Thalia Mangga Besar, Batavia. Dalam lakon berjudul De Ross van Serang, Dja berperan sebagai anak gadis yang ditelantarkan oleh ayah penggila judi. Di luar dugaan, Dja sangat menonjol dalam adegan menangis yang kemudian malah melambungkan reputasinya sebagai spesialis sandiwara tragedi.

“Wataknya Miss Dja adalah sebagai tragedienne,” tulis Andjar.

Ketika mula bergabung dengan Dardanella pada 1930, Andjar berjanji kepada Piedro akan mengeluarkan potensi penuh Dja dalam berakting. Untuk itu, Andjar mendedikasikan peran utama perempuan dalam lakon Dr. Samsi kepadanya. Dja pun membuktikan dirinya mampu dan dengan cepat mengungguli reputasi Miss Riboet—primadona pertama kelompok Dardanella.

“Saya melihat dalam diri Miss Dja satu tenaga yang tersembunyi, suatu bibit yang baik dan memberi pengharapan besar untuk kemudian hari. Saya rasa saya sanggup menulis cerita-cerita yang sesuai dengan wataknya,” kata Andjar kepada Piedro.

Malangnya, lantaran terlalu sibuk bekerja, kehidupan Dja jadi sama tragisnya dengan peran-perannya sebagai tragedienne. Selama menikah dengan Piedro, Dja pernah dua kali keguguran dan terpaksa merelakan anak pertamanya meninggal pada usia 7 bulan. Setelahnya, kehidupan rumah tangga keduanya berubah dingin hingga mengakibatkan Piedro gemar main serong dengan sesama anggota rombongan Dardanella.

Pavlova of the Orient

Sebelum menggelar pertunjukan mancanegara pertama di Singapura pada 1931, Dardanella sempat menggelar pertunjukan keliling ke penjuru Indonesia. Pada 1930, Dardanella tiba di Solo dan menggelar pertunjukan di Taman Sriwedari. Saat itulah Miss Dja mengganti nama panggungnya menjadi Dewi Dja.

Selama di Solo itu, menurut Ramadhan, Dja mempelajari tarian tradisional Jawa dari Sukinah, selir Susuhunan Pakubuwono X. Usai pentas sandiwara, sang Sunan yang kagum akan keuletan Dja menjulukinya dengan nama “dewi.”

Nama pemberian itu ternyata keluar bersamaan dengan sabda yang mendorong Piedro dan Dja untuk memboyong Dardanella keliling dunia. “Kalau perlu Dardanella keliling Eropa untuk memperkenalkan kesenian kita,” tutur sang Sunan sebagaimana diingat Dja dan dikutip harian Kompas (12/9/1982).

Sebelum pentas di Solo, Dardanella sudah lebih dulu berkeliling Bali. Di sana, Dja juga sempat belajar tari Legong yang kemudian mempertemukannya dengan dirigen asal Inggris bernama Leopold Stokowski. Dalam dokumenter pendek berjudul “I Remember Devi Dja,” sutradara Christian Anderson mengkisahkan bahwa Stokowski terpukau pada Dja sampai-sampai mengundangnya datang ke Inggris khusus untuk menarikan Legong.

Tidak lama setelahnya, Dja berkenalan dengan Anna Pavlova, balerina asal Rusia yang setahun sebelumnya melakukan tur mancanegara dan pentas di Batavia. Menurut Anderson, Pavlova secara tidak langsung memberi inspirasi pada Dja untuk keliling dunia. Dalam benak Dja, jika seorang balerina bisa menari di atas panggung dunia, penari tradisional Indonesia pun tentu juga bisa melakukannya.

“Memang saya selalu ingin membawa kesenian tanah air kita ke seluruh dunia. Sebab kalau kita tak berani keluar, bagaimana mungkin orang-orang luar itu mengenal kesenian kita yang indah ini,” ucap Dewi Dja dalam wawancara dengan Femina (31/8/1982).

Sejak 1935, untuk menandai debutnya di ranah internasional, Dardanella berubah nama menjadi Bali dan Java Cultural Dancers. Kolompok ini dengan percaya diri mementaskan tarian tradisional dan gamelan untuk mengatasi jurang bahasa. Sayangnya, tak semua anggota Dardanella setuju dengan langkah ini. Beberapa anggota kemudian memilih keluar rombongan di tengah tur dan kembali ke tanah air.

Meski anggotanya yang bertahan hanya 30 orang, Piedro dan Dja berkukuh melanjutkan tur dunianya. Mereka sempat menggelar pertunjukan di beberapa kota besar di Cina dan kemudian berlanjut ke India pada 1937. Di sana, pertunjukan tari Dewi Dja yang digelar sepanjang tahun mendapat sambutan hangat dari para maharaja dan tokoh-tokoh nasionalis India seperti Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru.

Sayangnya, Dja tidak pernah bisa memenuhi janjinya kepada Stokowski. Catatan pengalaman hidup yang ditinggalkannnya sama sekali tidak menyebut bahwa dia pernah menginjakan kaki di Inggris kendati hampir semua negara Eropa Barat pernah disinggahinya.

Meski begitu, Keuletan Dja mengikuti jejak Anna Pavlova membuatnya dikenal sebagai The Pavlova of the Orient.


Menari di Hollywood

Invasi Jerman terhadap Polandia pada 1 September 1939 dengan segera menghentikan rencana Dja dan rombongannya menggelar pertunjukan keliling Eropa. Demi menghindari Perang Dunia II yang sudah di depan mata, Bali and Java Cultural Dancers bertolak ke New York dengan menumpang kapal Rotterdam pada bulan berikutnya.

Di New York, Dewi Dja bersama rombongannya kembali mendulang sukses. Majalah Time edisi 6 November 1939 memberitakan spektakulernya pertunjukan Dja dan rombongannya di Guild Theater, Manhattan. Mereka disebut sebagai pelopor yang memperkenalkan musik dan tari Bali kepada masyarakat Amerika Serikat.

Perang Asia Timur Raya yang pecah pada 1942 membuat rencana kepulangan Piedro dan Dja tertunda. Dja dan Piedro lantas membuka niteclub bernama Sarong Room di Chicago yang kemudian terbakar pada 1946. Setelah Piedro tutup usia enam tahun kemudian, Dja pindah ke Los Angeles agar lebih dekat dengan dunia seni.

Kedatangan Dja di Hollywood kembali melambungkan kariernya sebagai seniman. Tawaran bermain film berdatangan seraya pergaulannya semakin luas di kalangan pekerja seni dan selebriti. Celakanya, Dja terlanjur menandatangani kontrak tanpa tahu akan diminta memainkan peranan dengan dialog bahasa Inggris. Padahal, sehari-harinya saja Dja masih kesulitan bercakap-cakap.

“Saya gagal menjadi pemeran utama. Tapi karena saya terlanjur menandatangani kontrak, saya tetap dipakai dalam produksi itu sebagai kru film bagian artistik,” ungkapnya.

Sepanjang paruh kedua 1940-an, Dja tekun mengajar tari sekaligus menjadi penata koreografi untuk produksi film yang berlatar Asia Tenggara. Beberapa film yang melibatkan Dja di antaranya Moon and Sixpence (1942), Beyond the Forest (1949), Cargo to Capetown (1950), Road to Bali (1950), dan Three Came Home (1952). Filmnya yang paling menonjol adalah The Picture of Doriant Gray (1945)--Dja muncul sebagai pusat perhatian saat tengah membawakan sebuah tarian sakral.

Pada 1954, Dewi Dja menjadi perempuan Indonesia pertama yang mengambil kewarganegaraan Amerika Serikat. Dia terpaksa melakukannya karena muncul sebuah tuduhan palsu yang membuatnya tidak bisa bekerja. Dengan alasan tersangkut urusan politik, tempat tinggalnya digerebek FBI dan dia dicecar habis-habisan soal negara asalnya.

“Tentu saja mereka tidak menemukan apa-apa pada diri saya […] Lalu saya tanyakan, apa yang harus saya lakukan. Eh, ternyata mereka cuma menyarankan agar saya menjadi warga negara Amerika,” tuturnya.

Infografik Dewi Dja 

Sumber : https://tirto.id/sejarah-hidup-dewi-dja-dari-panggung-sandiwara-hingga-hollywood-f4vZ

Kelompok Dardanella Mengejek Tuan Kolonial dari Panggung Sandiwara

  Dardanella. FOTO/Doenia Film (Batavia). Issue 3. 1929./commons.wikimedia.org/

Halo semua kali ini masih setia sm gue. kali ini postingan 5 akan membahas kelompok teater yang sangat mengejek kolonial akibat pementasan teaternya yaitu Kelompok Dardanella. berikut dikutip dari Tirto.

  Wartawan surat kabar Bintang Timur Andjar Asmara tidak bisa menutupi rasa herannya saat menyaksikan pertunjukan perdana The Malay Opera Dardanella di Batavia pada 1929. Grup sandiwara asal Jawa Timur itu tampil berbeda dengan tidak mengadakan upacara pembukaan sebelum pentas dimulai. Padahal, dalam dunia sandiwara kala itu, upacara pembukaan dianggap laiknya ritual sakral.

Sebelum lakon dimainkan, seturut kebiasaan, para pemain akan naik ke atas panggung untuk memperkenalkan diri di hadapan penonton. Dardanella dianggap melakukan tindakan berani karena memilih tidak membuang waktu untuk introduksi yang bertele-tele. Begitu lampu mati dan tirai naik, lagu pembuka berjudul Dardanella langsung mengalun.

“Mereka yang biasa menonton komedi bangsawan sudah terbiasa dengan tradisi pembukaan ini dan akan merasa dirugikan kalau kebiasaan ini dilanggar,” ungkap Andjar yang kelak lebih dikenal sebagai penulis sandiwara itu dalam tulisan kenang-kenangannya yang terbit di majalah Pedoman (10/9/1958).
 

Namun, para penonton toh tidak sempat menggerutu karena jalannya lakon dengan segera membetot perhatiannya.

Malam itu, bertempat di Gedung Thalia di Jalan Mangga Besar, Dardanella membawakan lakon berjudul The Sheik of Arabia. Para pemain satu per satu muncul berkostum khas Timur Tengah sambil melemparkan lelucon yang dibawakan lewat dialog dan nyanyian dalam bahasa Melayu. Hiburan yang juga biasa disebut komedi stambul ini sudah menjadi kegemaran masyarakat Hindia Belanda sejak pertama kali muncul pada akhir abad ke-19.

Menurut ingatan Andjar, itu adalah kali pertama dia menyaksikan komedi stambul yang berjalan cepat dan teratur. Dardanella mewajibkan setiap pemerannya mengikuti program acara, alih-alih mengandalkan improvisasi dengan berdialog tanpa naskah. Demikian Dardanella dianggap memelopori tata laksana pertunjukan dengan standar teater modern Eropa.

“Segala sesuatu berjalan dengan lancar, non-stop, cepat dan teratur,” tulis Andjar lagi. “Satu babak berakhir, layar turun. Musik lantas berbunyi dengan tidak buang tempo dan beberapa detik kemudian sudah berdiri penyanyi di tengah panggung. Segala sesuatu telah diatur lebih dulu sesuai rencana.”

Dalam memoar bertajuk “Suka Duka di Belakang Lajar Sandiwara” yang terbit di majalah Varia (1958), Andjar meramalkan bahwa Dardanella akan menjelma menjadi kelompok sandiwara revolusioner. Sesuai perkiraannya, pada dekade 1930-an kelompok ini berhasil merajai dunia panggung dan dikenal sampai ke luar negeri. Riwayat pertunjukannya menjelajah tiga benua: Asia, Eropa, dan Amerika Utara.

Piedro sang Pendiri

The Malay Opera Dardanella dibentuk di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 21 Juni 1926. Pendirinya adalah orang Rusia kelahiran Penang bernama Willy Klimanoff alias Piedro. Andjar Asmara menyebut jebolan sekolah Inggris yang fasih berbahasa Melayu itu sebagai sosok yang idealis.

Sejak kecil Piedro karib dengan dunia pertunjukan. Ayahnya adalah pemain sirkus yang cukup dikenal di Semenanjung Malaya dan Singapura. Ketika beranjak remaja, Piedro pindah ke Jawa dan sempat menjadi pemain akrobat. Pengetahuannya tentang manajemen pertunjukan dan kedisiplinan ala orang-orang sirkus yang dia dapat dari sang ayah menjadi bekalnya membangun Dardanella.

“Dalam satu sirkus disiplin yang paling utama. Saya tidak akan lupa bagaimana sesekali waktu dipaksa oleh ayah saya mengangkat tahi kuda dengan kedua tangan saya, karena kebetulan tidak ada sapu. Sebenarnya jijik, tapi apa boleh buat saya harus menurut,” tutur Piedro kepada Andjar.

Jejak sandiwara Melayu di Hindia Belanda bermula di sekitar era 1880-an, ketika rombongan teater bernama Pushi Indera Bangsawan asal Penang yang dipimpin Mamak Pushi dan Bai Kassim melakukan pertunjukan keliling dari Malaysia ke Batavia.



Kendati menawarkan bentuk hiburan baru bagi masyarakat Batavia, rombongan ini tidak lantas berhasil menjaring penonton. Menurut budayawan Jakob Sumardjo, pemakaian bahasa Melayu tinggi dan jenis cerita yang hanya dipahami bangsawan Melayu agaknya kurang berkenan di hati masyarakat Jawa kala itu. Usai pertunjukan keliling yang berantakan itu, Pushi Indera Bangsawan terpaksa tutup tirai selamanya.

“Khasanah musik dan lagu-lagu Melayu yang belum merasuk selera telinga penduduk Batavia atau karena repertoar ceritanya yang kemelayu-melayuan, maka rombongan ini mengalami kebangkrutannya di tanah rantau,” tulis Sumardjo dalam “Seratus Tahun Teater Modern Indonesia” yang terbit di harian Kompas (28/10/1990).

Bai Kassim lalu bangkit kembali dengan memunculkan modifikasi teater baru yang disebut komedi stambul. Dibantu orang Turki bernama Djaafar, dia membuat pementasan cerita-cerita berbau Timur Tengah dengan tata busana ala Kesultanan Turki. Dari itulah sebutan komedi stambul berasal. Stambul adalah pengucapan populer untuk Istambul, kota bersejarah di Turki.

Menurut Abduh Aziz dalam bukunya Dari Balik Layar Perak: Film di Hindia Belanda 1926-1942 (2019: 37), popularitas stambul naik bersamaan dengan munculnya film di Hindia Belanda. Untuk menfasilitasi keduanya, gedung-gedung yang berfungsi ganda sebagai tempat pertunjukan dan pemutaran film mulai dibangun di Batavia dan Surabaya.

Kelompok Dardanella lahir saat publik Hindia Belanda tengah gandrung pada pertunjukan sandiwara. Popularitas Dardanella perlahan naik hingga kemudian bersaing dengan kelompok Miss Riboet Orion pimpinan Tio Tek Djin yang lebih dulu berdiri.

"Mereka bersaing ketat, baik dalam naskah, nomor-nomor hiburan, maupun cara penyajian. Bahan naskah mereka kutip dari berbagai sumber," tulis Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900-1950 (2009: 23).

Lakon-Lakon Nakal

Pada awal berdiri, jumlah anggota Dardanella belum diketahui secara pasti. Pun begitu kelompok ini tidak terlalu dikenal di luar Jawa Timur. Namanya perlahan mulai moncer pada paruh pertama dasawarsa 1930-an. Sambil menggelar pertunjukan keliling dari Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, sampai Maluku, Piedro merekrut talenta-talenta baru.

Pada 1927, Piedro merekrut seorang penari Jawa berusia 14 tahun bernama Sutidjah yang kelak tenar dengan nama panggung Dewi Dja. Setahun kemudian, berturut-turut bergabung penyanyi keroncong bernama Tan Tjeng Bok dan pemain peran bernama Tirtosari alias Astaman. Lalu, diikuti kakak beradik Frederik dan Eduard de Kock.

Njoo Cheong Seng, penyair yang pernah bekerja untuk Miss Riboet Orion, dan istrinya Fifi Young turut bergabung pula ke Dardanella pada 1932. Kala itu, pasangan seniman ini sudah berpengalaman dalam sandiwara keliling mancanegara. Para rekrutan top inilah yang kemudian menjadi kunci melambungnya nama Dardanella.

Dardanella memiliki sekira 150 anggota pada 1935. Mereka berasal dari berbagai latar belakang etnis dan karena itu perkumpulan sandiwara ini jadi populer di hampir seluruh kelas sosial Hindia Belanda. Orang-orang bumiputra, Tionghoa, Indoeropa, hingga Eropa totok mengenal setidaknya satu atau dua bintang panggung Dardanella.

Kemampuan Dardanella menyatukan keragaman itu pun ikut jadi perhatian beberapa tokoh pergerakan nasional. Haji Agus Salim, misalnya, pernah memuji Dardanella sebagai sebuah “kelahiran baru dan bukan reinkarnasi dari tahap-tahap tonil yang terdahulu.” Pujian dedengkot Sarekat Islam itu berhasil mengetuk semangat nasionalisme para anggota Dardanella.

“Orang-orang Dardanella bangga bahwa mereka ikut mempelopori persatuan bangsa, karena berbagai suku bangsa diwakili di dalamnya,” aku Dewi Dja kepada Ramadhan KH dalam biografi Gelombang hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982: 69).

Kedudukan Dardanella semakin menonjol di mata kaum terpelajar semakin setelah Andjar Asmara bergabung pada 1930. Andjar ikut mengurus reklame pertunjukan Dardanella sekaligus juga menulis naskah. Menurut Misbach, dialah yang meninggikan mutu Dardanella dengan naskah-naskah orisinal dengan latar kehidupan masyarakat Hindia Belanda.

Cerita-cerita gubahan Andjar agak lebih berat dicerna karena memang dia maksudkan untuk memenuhi selera seni khalayak terpelajar. Lakon gubahan Andjar--seperti Perantaian 99, Haida, dan Dr. Samsi--kemudian menggeser lakon Timur Tengah yang sebelumnya biasa ditampilkan Dardanella.

Karya Andjar yang terkenal dan mampu menarik banyak penonton adalah lakon Dr. Samsi yang mulai dipentaskan pada akhir 1931. Kisah yang konon terinspirasi dari sandiwara Perancis berjudul La Femme X ini berhasil mengaduk perasaan kaum terpelajar Hindia Belanda kala itu.

Misbach menyebut Dardanella mengiklankan Dr. Samsi dengan dibubuhi label "Moderne Indische Roman" alias roman modern Hindia. Ia menceritakan seorang juru rawat bernama Leo van de Brink yang memeras dokter yang terlibat skandal asmara di sebuah rumah sakit. Tokoh utama perempuannya diperankan oleh Dewi Dja yang di kala itu terkenal sebagai aktor spesialis tragedi.

"Adapun peranan Leo van de Brink yang lagak lagunya menjengkelkan, tapi bisa menimbulkan tawa dipegang oleh Tan Tjeng Bok. Permainan Tan Tjeng Bok bagus," tulis Misbach.

Maka itu, pada tahap ini Dardanella boleh dikata telah menampilkan drama modern, bukan lagi pertunjukan gaya komedi stambul. Dardanella juga terbilang kelompok sandiwara yang berani. Mereka sering mementaskan lakon yang sarat ejekan terselubung bagi penguasa kolonial dan feodal seperti The Thief of Bagdad, Mark of Zorro, De graaf van Monte-Cristo, dan The Three Musketeers. Gara-gara lakon-lakon itu, pemerintah kolonial sempat mencurigai Dardanella sebagai sarang komunis.

Seturut amatan sejarawan Harry Poeze, penonton di negeri seberang pun pernah pula curiga pada kelompok sandiwara ini. Dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008: 284), Poeze menyebut Dardanella sempat dekat dengan orang-orang Nazi Jerman kala mereka tengah melakukan tur keliling Eropa pada 1938. Perhimpunan Indonesia sampai melayangkan kecaman karena Dardanella dianggap membiarkan dirinya tenggelam dalam propaganda kelompok fasis.

Riwayat Dardanella tamat jelang pecahnya Perang Dunia II. Ketika situasi politik Eropa mulai memanas, Dardanella sedang tur keliling Eropa. Mereka lalu buru-buru pindah ke Amerika pada akhir 1939. Mereka sempat menggelar pertunjukan perdana di New York dengan nama Devi Dja’s Bali dan Java Cultural Dancers sebelum akhirnya bubar.

Meski begitu, namanya tak lekang. Dardanella tetap dikenal orang sebagai kelompok sandiwara terbesar di era kolonial. Pada 1947, Sutan Sjahrir bahkan menyebut Dardanella sebagai duta kebudayaan Indonesia ketika berkunjung ke New York untuk memperjuangkan pengakuan internasional atas kedaulatan RI di PBB.

Infografik The Malay Opera 

Sumber : https://tirto.id/kelompok-dardanella-mengejek-tuan-kolonial-dari-panggung-sandiwara-f4iX

Sabtu, 19 September 2020

Ronny Pattinasarany: Dan Pertandingan pun Usai

 Ilustrasi Mozaik Ronny Pattinasarany. tirto.id/Nauval

Postingan 4 ini akan membahas profil Ronny Pattinasarany seorang pesepakbola indonesia yang sangat berdedikasi dalam dunia sepakbola indonesia. 

 "Semenjak zamannya Maladi
Hingga ke zaman Ronny Pattinasarany
Mereka berjuang demi negeri
Untuk satu nama PSSI"

Lirik lagu "Kop dan Headen" dari Padhyangan Project atau P-Project ini cukup populer di pertengahan 1990-an. Grup musik asal Kota Bandung ini memarodikan lagu "Close to Heaven" dari Color Me Badd. Ya, seperti Maladi yang menjadi legenda sepakbola nasional, Ronny Pattinasarany juga bagian dari daftar pemain Indonesia yang ikut mengharumkan nama bangsa.

Ronny Pattinasarany lahir di Makassar pada 9 Februari 1949. Pemain sepak bola berdarah Ambon ini mengawali kariernya pada 1966 di klub PSM junior. Sejak kecil, Ronny sudah bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Hal ini berkat bimbingan dan dukungan ayahnya, Nus Pattinasarany, pemain sepak bola di era sebelum kemerdekaan.

Kelak, ia yang gantung sepatu pada 1983 ini dikenal juga sebagai pelatih, pengurus PSSI, dan komentator sepak bola. Suaranya yang berat dan sedikit serak kerap hadir di layar televisi. Ronny fasih bicara soal strategi dan pergerakan pemain. Masa-masa awalnya menjadi komentator sepak bola adalah di TVRI. Ia menjadi komentator final Piala Winner antara Ajax vs KV Mechelen tahun 1988.

Apa yang ia katakan di layar kaca tentu bukan omong kosong atau meramal pertandingan. Ronny memiliki pengalaman empiris selama belasan tahun sebagai pemain sepakbola, dan tahun-tahun selanjutnya ia aktif sebagai pelatih.


Ronny bahkan bukan pemain sembarangan, ia adalah gelandang handal di masanya. Itu terbukti dari sederet prestasi yang ia torehkan. Dalam perjalanan kariernya, Ronny pernah menyabet beberapa penghargaan seperti Pemain All Star Asia (1982), Olahragawan Terbaik Nasional (1976 dan 1981), Pemain Terbaik Galatama (1979 dan 1980), dan Medali Perak SEA Games (1979 dan 1981).



Karier kepelatihannya juga tak bisa dianggap remeh. Ia pernah melatih Krama Yudha Tiga Berlian, Makassar Utama, Petrokimia Gresik, Persiba Balikpapan, Persita Tangerang, Persitara Jakarta Utara, dan Persija Jakarta. Prestasi terbaiknya sebagai pelatih adalah membawa Petrokimia Gresik menjuarai sejumlah turnamen seperti Surya Cup dan Petro Cup.

Di tubuh PSSI, Ronny pernah menjadi Direktur Pembinaan Usia Muda (2006), Wakil Ketua Komdis (2006), dan Tim Monitoring Timnas (2007). Rekan-rekannya menyebut Ronny sebagai sosok yang berani. Bambang Nurdiansyah, rekan Ronny di timnas mengatakan bahwa Ronny kerap membela teman-temannya dan tak takut pada manajemen. “Beliau tidak segan-segan berkata lantang kepada manajemen PSSI," kata Bambang.

Sementara pelatih kawakan Benny Dollo menyebut Ronny adalah orang yang konsisten menekuni dunia sepak bola. "Betul-betul selama hidupnya beliau cari nafkah dan bekerja dengan bola. Dia seratus persen memberikan hidupnya untuk bola," kata Bendol.

 

Pertandingan Berikutnya

Setelah puluhan tahun melakoni dunia sepak bola, baik sebagai pemain, pelatih, dan komentator, serta menjalani pertandingan demi pertandingan, Ronny akhirnya harus berhenti. Namun, ia tetap harus menjalani pertandingan berikutnya, yakni melawan bandar narkoba yang mencoba merenggut kehidupan anak-anaknya.

Dari pernikahannya dengan Stella Maria, Ronny dikaruniai tiga orang anak: Robenno Pattrick (Benny), Henry Jacques (Yerry), dan Tresita Diana. Dua anak laki-lakinya inilah yang terjerat narkoba. Dalam "Berebut Cinta dengan Bandar Narkoba" yang dihimpun dalam Kick Andy: Kumpulan Kisah Inspiratif (2008) disebutkan bahwa salah seorang anaknya mengenal narkoba sejak duduk di bangku SMP. Saat itu Ronny tengah menjadi pelatih Petrokimia Gresik.

"Saya dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit, sepak bola atau menyelamatkan anak. Saya pun akhirnya memutuskan meninggalkan sepak bola, kembali ke Jakarta meskipun pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan," ungkap Ronny.
 
Kepada istrinya, Ronny berkata, "Mama juga jangan malu. Ini musibah. Mungkin kita sedang ditegur Tuhan."

Kewalahan mengendalikan Yerry terhadap narkoba, Ronny pun meminta anak pertamanya, Benny, untuk menjaga adiknya. Namun, Benny juga ternyata kecanduan narkoba, dan bahkan lebih parah dari adiknya.

Tak tega melihat anak-anaknya yang sering kesakitan karena kecanduan narkoba, Ronny kerap mengantar mereka ke bandar narkoba untuk membeli barang haram tersebut. Ia tentu bukan mendukung perbuatan melanggar hukum itu, tapi karena hatinya koyak saat anak-anaknya kesakitan. Ronny bahkan sering berpikir untuk membunuh bandar narkoba, namun pikiran itu akhirnya ia hentikan.

"Ngapain ngurusin bandar, jauh lebih baik ngurusin anak. Saya berusaha berebut kasih sayang dengan bandar," ungkapnya.

Perjuangan Ronny akhirnya berhasil. Kedua anaknya dapat berhenti dari ketergantungan narkoba. Pertandingan dengan bandar ia menangkan.

Warsa 2007, Ronny lagi-lagi harus bertanding, kali ini melawan kanker hati yang menyerangnya. Ia empat kali menjalani pengobatan ke Guangzhou, Cina. Namun penyakit itu terus menggerogotinya hingga Ronny tak mampu lagi bertahan. Tanggal 19 September 2008, tepat hari ini 12 tahun lalu, Ronny Pattinasarany wafat di sebuah rumah sakit di Pulomas, Jakarta. Dan pertandingan pun usai.
 
Infografik Mozaik Ronny Pattinasarany 
 
 
Prestasi :

Pemain

  • Pemain Asia All Star (1982)
  • Olahragawan Terbaik Nasional (1976 dan 1981)
  • Pemain Terbaik Galatama (1979 dan 1980)
  • Medali Perak SEA Games (1979 dan 1981)
 

Pelatih

  • Petrokimia Juara Surya Cup
  • Petrokimia Juara Petro Cup
  • Petrokimia menjadi runner-up Tugu Muda Cup