Selasa, 27 Oktober 2020

Sumpah Pemuda dan Kiprah Orang Tionghoa di Balik "Indonesia Raya"

Masih dalam suasana Sumpah Pemuda kali ini kita bahas mengenai sumpah pemuda dan cerita dibalik lagu Indonesia Raya. langsung aja cekidot.


Dengan langkah tergopoh-gopoh, Wage Rudolf Supratman bergegas masuk ke dalam gedung Sin Po di Jalan Asemka 29, Batavia. Ia hendak menemui Ang Yan Goan, direktur sekaligus redaktur Sin Po, surat kabar yang dikelola orang-orang Tionghoa peranakan dengan tiras yang sangat besar pada masanya. Supratman memang biasa mendiskusikan pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan para wartawan Sin Po.

Sejak September 1925, Supratman dikenal sebagai salah satu koresponden aktif untuk Sin Po. Ia mengenal baik seluruh karyawan koran itu dan Ang Yan Goan menilai Supratman sebagai sosok nasionalis sejati, pecinta seni, dan begitu menyenangi pekerjaan pers. Supratman biasa datang tengah hari ke Asemka menjelang tenggat, sehingga kerap makan siang bersama para staf media tersebut.

Namun khusus hari itu, Supratman datang ke kantor Sin Po lengkap dengan biola kesayangannya. Di hadapan Ang Yan Goan, ia menunjukkan syair lagu berjudul "Indonesia" yang pertama kali digubah di Bandung. Supratman kemudian menyanyikan syair tersebut dengan lembut, lengkap dengan iringan biola.

Di dalam memoarnya, Ang Yan Goan menuturkan pertemuan bersejarah dengan Supratman itu. Ia terkesima dengan alunan nada yang keluar dari biola Supratman, seraya memuji kualitas syair dan musik yang dimainkan. Sekalipun tidak bercorak langgam Indonesia, Ang Yan Goan menganggap syairnya begitu menggugah hati, terutama pada bait "Marilah kita berseru, Indonesia bersatu."

Setelahnya, Supratman menanyakan kepada Ang Yan Goan mengenai kemungkinan Sin Po memuat syair tersebut. Ang Yan Goan tidak keberatan, mengingat hal itu tentu akan bermanfaat bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak awal kemunculannya pada 1 Oktober 1910, Sin Po memang sudah dikenal sebagai salah satu pendukung kemerdekaan Indonesia.

Menurut Sin Po, orang Tionghoa dan orang Indonesia memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama mengalami perlakukan tidak adil dan diskriminatif, dan sama-sama dianggap sebagai bangsa yang ditaklukkan. Sin Po berkeyakinan, pemerintahan sendiri akan menghapuskan ketidakadilan dan diskriminasi, hingga menuju ke sasaran akhir, yakni kemerdekaan Indonesia. Untuk itu, Sin Po menganggap baik orang Tionghoa maupun orang Indonesia seharusnya bisa saling bersimpati dan tolong-menolong, berdasarkan persamaan nasib sebagai bangsa terjajah.

Setelah melewati rapat redaksi, disepakati bahwa syair tersebut dimuat di Sin Po Wekelijksche Editie (Sin Po Edisi Mingguan) pada 10 November 1928. Syair itu pertama kali muncul dengan judul "Indonesia", dan di dalamnya tidak menyebut kata "merdeka" sama sekali. Supratman masih menggunakan diksi "mulia".

Sin Po pun menjadi media pertama yang memuat syair tersebut lengkap dengan partiturnya. Hal itu sontak mengejutkan sebagian pembaca Sin Po. Mereka bertanya-tanya mengapa syair "Indonesia" tidak dimuat di koran terbitan kaum bumiputra terlebih dulu.

Supratman ternyata sempat mengajukannya ke beberapa koran terbitan Indonesia untuk dimuat, tetapi tidak ada satupun yang bersedia. Mereka khawatir terhadap ancaman beredel dari pemerintah kolonial. Apalagi Belanda sudah pernah kecolongan ketika Supratman memainkan syair tersebut untuk pertama kalinya dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, tepat hari ini 92 tahun silam. Sugondo Djojopuspito, pimpinan kongres tersebut, adalah orang yang meyakinkan Supratman untuk memainkannya.

Disita Polisi Belanda

Ide awal Supratman untuk menggubah "Indonesia Raya" berawal dari tantangan yang ditulis majalah Timboel (diterbitkan di Solo) yang berbunyi: “Alangkah baeknya kaloe ada salah saorang dari pemoeda Indonesia jang bisa tjiptaken lagoe kebangsaan Indonesia, sebab laen-laen bangsa semoea telah memiliki lagoe kebangsaannja masing-masing!”

Merasa tertantang, Supratman pun mulai menyusun syair lagu tersebut yang berhasil ia selesaikan pada 1924 dan kemudian ia beri judul "Indonesia".

Pada 1929, Supratman mengganti judul syair tersebut menjadi "Indonesia Raja" dan menyematkan frasa "Lagu Kebangsaan Indonesia" di bawahnya. Dengan bantuan Sin Po, Supratman kemudian memperbanyak dan mendistribusikannya dalam bentuk selebaran. Hanya dalam waktu singkat, syair itu telah menyebar ke seluruh penjuru Batavia.

Dua tahun sebelumnya, Supratman menghubungi beberapa perusahaan rekaman di Batavia untuk merekam lagu tersebut. Ia menghubungi Odeon dan kemudian ditolak. Selanjutnya, Supratman menghubungi Tio Tek Hong, untuk kemudian ditolak kembali. Kedua perusahaan tersebut memberikan alasan yang sama, yaitu khawatir akan berurusan dengan polisi Belanda.

Tidak patah arang, Supratman kemudian menawarkan ide tersebut ke Yo Kim Tjan, pemilik Roxi Cinema House dan Lido di Tanjung Priok yang memproduksi dan mendistribusikan film serta rekaman melalui Toko Populair. Kebetulan saat itu Supratman juga bekerja sebagai pemain biola paruh waktu untuk Yo Kim Tjan di Orkes Populair.

Yo Kim Tjan menyetujui rencana Supratman dan bahkan menyarankan dua rekaman yang berbeda, yaitu "Indonesia Raya" versi asli yang dinyanyikan Supratman dan Indonesia Raya versi keroncong. Proses rekaman dilakukan secara sembunyi-sembunyi di kediaman Yo Kim Tjan di Jalan Gunung Sahari 37, Batavia dengan bantuan seorang ahli dari Jerman.

Master versi keroncong kemudian dikirim ke Inggris untuk diperbanyak, sebelum dikirim kembali ke Batavia. Supratman bahkan memberikan hak kepada Yo Kim Tjan untuk memperbanyak dan menjual lagu tersebut melalui tokonya.

Namun polisi Belanda mengetahuinya dan segera bertindak cepat dengan menyita seluruh rekaman, termasuk rekaman yang dikirimkan dari Inggris ke Batavia. Sementara master dari versi keroncong kemungkinan besar juga dihancurkan pemerintah kolonial.
 

Diklaim Pemerintah Republik

Ketika Jepang menduduki Indonesia, Supratman meminta kepada Yo Kim Tjan untuk menyelamatkan satu-satunya master yang tertinggal. Semasa Revolusi, putri tertua Yo Kim Tjan, Kartika Kertayasa (Yo Hoey Gwat), berhasil menyelamatkan rekaman tersebut dalam proses evakuasi menuju Karawang, Tasikmalaya, Garut, dan beberapa kota lainnya.

Pada 1947, Yo Kim Tjan beserta keluarganya mengunjungi Belanda. Ketika makan di salah satu restoran Indonesia di Amsterdam, Yo Kim Tjan terkejut mendengar "Indonesia Raya" versi keroncong dimainkan sang pemilik restoran. Ia pun berupaya meyakinkan sang pemilik restoran bahwa lagu yang dimainkan merupakan hasil rekamannya. Yo Kim Tjan bahkan menunjukkan paspornya sebagai bukti. Pada akhirnya, Yo Kim Tjan harus membayar 15 gulden untuk mendapatkan rekaman yang ia produksi sendiri.

Setelah pengakuan kedaulatan, Yo Kim Tjan berencana memperbanyak rekaman tersebut pada 1953 agar "Indonesia Raya" bisa lebih dikenal khalayak luas. Ia pun berusaha mendekati Maladi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Djawatan Radio Republik Indonesia, untuk meminta izin memperbanyak rekaman tersebut. Namun Maladi menolaknya.

Dalam wawancara terakhir Udaya Halim, seorang budayawan Tionghoa, dengan Kartika Kertayasa, disebutkan bagaimana pada 1957 Kusbini, seorang pengarang lagu terkemuka, mendekati Yo Kim Tjan dan menjanjikannya untuk dapat lisensi memperbanyak rekaman "Indonesia Raya". Namun Kusbini kemudian menyerahkan rekaman tersebut ke pemerintah, dan pada 1958 Yo Kim Tjan menerima surat yang menyatakan seolah-olah ia menyerahkan rekaman tersebut secara sukarela.

Maka terhitung sejak 1958, pemerintah Indonesia menjadi satu-satunya pihak yang memegang hak penuh untuk memperbanyak dan mendistribusikan lagu tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958, stanza pertama "Indonesia Raya" digunakan sebagai lirik resmi dari lagu nasional Indonesia, yang masih digunakan hingga detik ini.

 Infografik Mozaik Sumpah Pemuda

Sumber : https://tirto.id/sumpah-pemuda-dan-kiprah-orang-tionghoa-di-balik-indonesia-raya-c8Jl

Bonus : Lirik Lagu Indonesia Raya 

Partitur Indonesia Raya

 

 

 

 

Haji Ghany Aziz, Pengusaha Palembang yang Digerebek Tentara Inggris

 

 Hallo Guys udh lama gak posting blog kali ini aku akan membahas Sosok Haji Ghany Aziz, Pengusaha Palembang yang sangat kaya raya tetapi banyak rintangan yang dihadapinya. langsung aja cekidot.

Kiagoos Abdul Ghany Aziz sudah berdagang sejak zaman kolonial. Ayahnya, Kiagoos Haji Abdul Aziz, adalah juga seorang pedagang yang hijrah dari Palembang ke Betawi pada tahun 1890. Tiga tahun setelah kepindahannya ke Betawi, Ghany Aziz lahir.

Seperti disebut dalam buku 79 Tahun-H.A. Ghany Aziz (1972:19-24), pada tahun 1904, keluarga ini mempunyai perusahaan yang bernama Firma Kiagoos Abdul Aziz & Co. Perusahaan ini menjual kain batik dari Jawa ke Palembang, dan mendatangkan rotan serta damar dari Sumatra Selatan ke Jawa. Firma Kiagoos Abdul Aziz & Co. didirikan di Jakarta Kota.

Ghany Aziz masuk ke bisnis ayahnya pada 1911, ketika usianya 18 tahun. Setelah pergi haji pada 1912 dan kembali ke Hindia Belanda pada 1913, maka jadilah ia seperti kebanyakan pedagang bumiputra Islam, punya gelar haji.

Haji Ghany Aziz perlahan memperluas bisnis ayahnya, dan pada tahun 1927 Firma Kiagoos Abdul Aziz & Co. telah punya cabang di Palembang, Padang, Bengkulu, serta agen di Singapura. Warsa 1940, seperti dicatat Ian Chambers dalam Konglomerasi: Negara dan Modal dalam Industri Otomotif Indonesia, 1950-1985 (1996:99), Haji Ghany Aziz mendirikan NV Kiagoos dan perusahaan lainnya, yang pada 1943 sudah mengimpor sejumlah mesin. Bersama Agus Moesin Dasaad, Haji Ghany Aziz menjadi importir kendaraan.

Sebelum Jepang menduduki Indonesia, seperti catat Peter Post (1996:619), Haji Ghany Aziz bersama para pedagang lain seperti Agus Moesin Dasaad, Djohan, Djohar, dan Ajoeb Rais, ikut mematahkan monopoli pedagang Cina di Hindia Belanda atas impor tekstil dari Jepang.

Ketika Tiongkok perang melawan Jepang, muncul aksi boikot terhadap produk Jepang yang dilakukan para pedagang Cina di Hindia Belanda, tetapi Haji Ghany Aziz dan pedagang pribumi lainnya tak menghiraukan aksi boikot tersebut.

Haji Ghany Aziz pernah berkongsi dengan Dasaad dan mendirikan perusahaan bernama Ghandas, akronim nama keduanya. Mereka pernah mendapat pinjaman kredit dari De Javassche Bank.

Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya tahun 1943, Haji Ghany Aziz mendirikan Masayu Trading Coy. Meski keadaan amat sulit, perusahaannya masih mempunyai stok beras, kopi, teh, dan hasil pertanian lainnya.


Masih di zaman Jepang, saat usianya menginjak 50 tahun, Haji Ghany Aziz dan kawan-kawannya berkeliling Jawa dengan mengendarai mobil. Semua kawan-kawannya sesama pedagang yang tersebar di sejumlah kota penting di Jawa, diajaknya berkumpul. Pertemuan besar pengusaha Jawa dan Madura itu kemudian melahirkan Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE).

Menurut Imam Halilintars dalam BR Motik: Tokoh Perintis Ekonomi Nasional (1986:139), Haji Ghany Aziz pernah mengalami kerugian karena ditipu anak buahnya. Sementara di masa tuanya, dia sudah menyiapkan anak dan menantunya sebagai penerus pengelola perusahaan. Namun, mereka justru lebih dulu meninggal dunia sehingga Haji Ghany Aziz begitu risau.

Ketika revolusi kemerdekaan berlangsung, Haji Ghany Aziz tetap berdagang. Dia tak mau angkat senjata karena dia merasa bakatnya adalah dagang. Dia juga tak mau mengumpulkan orang yang siap mati untuk bikin pasukan lalu mengaku diri jadi mayor atau komandan.

“Dan saya tidak mau melakukan apa yang bukan bakat saya,” kata Ghany Azis dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1984:97).

Di masa perang itu, Haji Ghany Aziz berdagang di Bandung dengan bendera Masayu Trading Coy yang kantornya beralamat di Jalan Tamblong. Kantornya itu adalah tempat kumpul orang-orang Republiken seperti para wartawan Antara. Namun, tempat usahanya kemudian diobrak-abrik tentara Inggris dan barang dagangannya seperti teh, kopi, dan gula disita.

“Kejadian itu membuat saya bangkrut,” ujarnya.


Dia kemudian menuju daerah Republik. Di Yogyakarta, Haji Ghany Aziz membangun lagi bisnisnya dari bawah, yakni sebagai pedagang arang.

Setelah pengakuan kedaulatan, dia kembali ke Jakarta. Berbekal kepercayaan dari pedagang benang keturunan India di Pintu Kecil, dia pun membangun lagi usahanya yang sempat hancur akibat perang.

Perusahaan yang didirikan pada 1940-an itu bangkit lagi dan selama puluhan tahun dia pimpin. Awal 1980an, Haji Ghany Aziz memimpin perusahaannya sebagai Direktur PT Kiagoos dan Komisaris PT Masayu. Perusahaan terakhir memakai nama depan istrinya, Masayu Zaleha.

Haji Ghany Aziz mempunya dua istri dan delapan anak. Dia wafat di Bandung pada 23 Maret 1989 dalam usia 97 tahun.

Infografik Kiagoos Haji Abdul Ghany Aziz

 

Sumber : https://tirto.id/haji-ghany-aziz-pengusaha-palembang-yang-digerebek-tentara-inggris-f5P7